PRAKTIKUM V
Topik : Platyhelminthes
Tujuan : 1. Mengetahui ciri morfologi dari phyllum Platyhelminthes
2. Mengamati
cara gerak Platyhelminthes (Planaria)
3. Mengamati bagian-bagian tubuh/ciri morfologi Fasciola hepatica.
Hari/tanggal : Kamis/ 26 Maret 2015
Tempat : Laboratorium Biologi PMIPA FKIP UNLAM
Banjarmasin
I.
ALAT DAN BAHAN
A. Alat:
1.
Alat tulis
2.
Mikroskop
3.
Kaca benda
dan kaca penutup
4.
Cawan
petri
5.
Baki
6.
Kertas milimeter
B. Bahan:
1. Preparat/awetan Fasciola hepatica
2. Planaria sp
II.
CARA KERJA
Cara mendapatkan Planaria: habitat di perairan sungai, danau yang jernih,
aliran tidak terlalu deras dan dangkal, berikan potongan daging/cacing tanah
kecil pada sela-sela batu dan tidak terbawa aliran air, tunggu beberapa saat.
A. Planaria
1.
Menyiapkan
alat dan bahan.
2.
Meletakkan planaria sp di atas kaca benda kemudian ditutup dengan kaca penutup.
3.
Mengamati Planaria sp di bawah mikroskop dan menggambar morfologinya serta memberi keterangan
4.
Meletakkan Planaria sp di atas kertas milimeter dan mengamati cara
geraknya.
B.
Fasciola hepatica
1.
Meletakkan preparat/awetan Fasciola hepatica di bawah mikroskop
2.
Mengamati anatomi dari Fasciola hepatica, bagian mulut (anterior),
sistem pencernaan, saraf, kelenjar vitelin, dan organ reproduksi
3.
Menggambarkan morfologinya dan memberi keterangan
III.
TEORI DASAR
Platyhelminthes berasal dari
kata Yunani : platy + helmintes ; platy = pipih, helmintes = cacing. Bila dibandingkan dengan Porifera dan Coelenterata, maka kedudukan Phylum
Platyhelminthes adalah lebih tinggi setingkat. Hal itu dapat dilhat dengan
ciri-ciri yang dimiliki, sebagai berikut : tubuh bilateral simetris (pipih),
hidup di air tawar, mulut terdapat pada bagian ventral, memiliki bentukan
seperti mata, mempunyai auricle, arah tubuh sudah jelas, yaitu mempunyai arah
anterior – posterior dan arah dorsal – ventral, bersifat triploblastik, sebab
dinding tubuhnya sudah tersusun atas tiga lapisan, yaitu lapisan ektodermis,
mesodermis, dan lapisan endodermis, sudah mempunyai sistem syaraf yang bersistem tangga tali, yang terdiri dari
sepasang ganglia yang membesar di bagian anterior dan sepasang atau lebih syaraf yang
membentang dari arah anterior ke posterior, tubuhnya sudah dilengkapi dengan
gonad yang telah mempunyai saluran tetap dan juga alat kopulasi yang khusus.
Tetapi hewan ini masih tetap tergolong hewan tingkat rendah, mengingat tubuh
tidak mempunyai rongga tubuh yang sebenarnya (coelom), saluran pencernaan
makanan belum sempurna, bahkan ada sementara anggota yang tidak bersaluran
pencernaan, alat kelaminnya masih belum terpisah ( hermafrodit ).
Platyhelminthes terdiri atas 3 kelas yaitu: Turbellaria, Trematoda, dan Cestoda. Planaria
merupakan contoh dari kelas Trematoda. Planaria ini memiliki tubuh yang pipih,
hidup di air tawar, mulut terdapat pada bagian ventral, memiliki bentukan
seperti mata, dan mempunyai auricle. Hewan ini tidak memiliki anus, mempunyai
daya regenerasi yang sangat baik. Sedangkan pada Fasciola hepatica juga
memiliki tubuh yang pipih, tidak bersegmen, pada bagian mulut terdapat pengisap
dan kadang-kadang mempunyai kait-kait, dan biasanya hewan ini hermafrodit.
Turbellaria yang hidup bebas di dalam
air atau tempat yang lembab. Trematoda yaang hidup sebagai parasit, dan Cestoda
yang hidup sebagai parasit di dalam usus vertebrata. Fasciola hepatica termasuk
dalam kelas Trematoda.
Mulut Fasciola hepatica terletak di
tengah-tengah alat hisap depan. Makanannya terdiri dari jaringan atau cairan
tubuh tuan rumahnya yang dihisap oleh alat hisap kemudian melalui mulut masuk
ke dalam saluran pencernaannya. Kelas Trematoda dapat kita bagi menjadi 2 ordo:
Monogenea dan Digenea. Jenis Monogenea hanya mempunyai satu tuan rumah saja.
Telurnya yang dilepas ke dalam air tidak banyak jumlahnya, bahkan kadang-kadang
hanya satu butir saja. Larva yang terjadi langsung melekat pada tuan rumahnya,
misalnya ikan, katak, atau reptil. Kadang-kadang di dalam suatu perairan
terdapat banyak sekali larva yang semacam ini sehingga dapat mematikan banyak
anak ikan, misalnya jenis Gyrodactylus yang hidup pada sirip, kulit dan insang
ikan mas. Jenis hewan dalam ordo ini merupakan parasit luar (ektoparasit)
Vertebrata; pada manusia belum pernah di dapat.
V. v. ANALISIS DATA
1.
Planaria sp
Klasifikasi :
Kingdom :
Animalia
Phylum :
Platyhelminthes
Class :
Turbellaria
Ordo :
Tricladida
Sub ordo :
Paludicola
Family :
Tricladidae
Genus :
Planaria
Species : Planaria sp.
Sumber : Verma. 2002
Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa
tubuh planaria sp. pipih dan simetri
bilateral, bagian kepala berbentuk segitiga dengan tonjolan seperti dua keping
yang terletak di sisi lateral yang disebut aurikel,
dan bagian ekor meruncing. Bagian tubuh sebelah dorsal warnanya lebih gelap
daripada warna tubuh sebelah ventral. Di tengah-tengah
bagian dorsal kepalanya terdapat bintik mata (berfungsi untuk membedakan gelap
dan terang). Dekat pertengahan tubuh bagian ventral agak ke arah ekor terdapat
terdapat lubang mulut. Meskipun hidup di air planaria tidak berenang,
tetapi bergerak dengan cara meluncur dan merayap. Gerakan meluncur terjadi
dengan bantuan silia yang ada pada bagian ventral tubuhnya dan zat lendir yang
dihasilkan oleh kelenjar lendir dari bagian tepi tubuh. Zat lendir itu
merupakan “jalur” yang akan dilalui. Gerakan silia yang menyentuh jalur lendir
menyebabkan hewan bergerak. Selama berjalan meluncur, gelombang yang bersifat
teratur tampak bergerak dari kepala ke arah belakang. Pada gerak merayap, tubuh
planaria memanjang sebagai akibat dari kontraksi otot sirkular dan
dorsoventral. Kemudian bagian depan tubuh mencengkeram pada substrat dengan
mukosa atau alat perekat khusus. Menurut
pengamatan kami, dalam waktu 7.50 detik, planaria sp. dapat berjalan sejauh 1 cm.
Struktur
Planaria tubuhnya pipih, memanjang dan lunak, berukuran kira-kira 15mm (5-25mm)
panjang, bagian anterior (kepala) berbentuk segitiga tumpul, dan meruncing
kearah belakang, dan berpigmen yang gelap. Planaria menghindari cahaya yang
kuat dan pada siang hari.
Planaria merupakan salah satu cacing pipih yang hidup bebas, kebanyakan hidup di dalam air tawar atau air laut, atau tempat yang lembab di daratan (Santoso,1994).
Planaria merupakan salah satu cacing pipih yang hidup bebas, kebanyakan hidup di dalam air tawar atau air laut, atau tempat yang lembab di daratan (Santoso,1994).
Lubang
mulut berada di ventral tubuh agak kearah ekor, berhubungan dengan pharink
(proboscis) berbentuk tubuler dengan dinding berotot, dapat ditarik dan
dijulurkan untuk menangkap makanan. Di bagian kepala, yaitu bagian samping
kanan dan kiri terdapat tonjolan menyerupai telinga disebut aurikel. Tepat di bawah
bagian kepala terdapat tubuh menyempit, menghubungkan bagian badan dan bagian
kepala, disebut bagian leher. Di sepanjang tubuh bagian ventral diketemukan
zona adesif. Zona adesif menghasilkan lendir liat yang berfungsi untuk
melekatkan tubuh planaria ke permukaan benda yang ditempelinya. Di permukaan
ventral tubuh planaria ditutupi oleh rambut-rambut getar halus, berfungsi dalam
pergerakan (Jasin, 1984).
Di
tengah-tengah bagian dorsal kepalanya ditemukan sepasang bintik mata yang
sensitif terhadap rangsangan sinar. Oleh karena itu, Planaria dapat membedakan
gelap dan terang, namun demikian Planaria tidak dapat melihat. Planaria
lebih banyak menghabiskan banyak waktu di bawah bebatuan atau daun-daun. Planaria akan menghindarkan diri apabila
terkena sinar yang kuat. Di bawah sinar difus, cacing itu aktif bergerak,
berenang-renang ataupun merayap. Biasanya mereka berkelompok antara 6 – 20
ekor. Pada aurikel dipenuhi oleh banyak reseptor kimia, sehingga menggerakan
kepala yang kesatu sisi ke sisi lain yang menyebabkan planaria mengetahui atau
merasakan adanya sinyal kimia (bau) yang berdifusi dari sumber makanan.
Planaria sebagian besar karnivora. Makanan planaria berupa daging bangkai hewan atau
hewan kecil lainnya. Alat pencernaannya terdiri dari 1. Mulut 2. Faring 3.
Esofagus 4. Usus halus (intestine). Lubang mulut dilanjutakan oleh kantung
silindris memanjang dan disebut rongga mulut (rongga faringeal). Esofagus merupakan
persambungan dari faring yang langsung bermuara ke usus. Usus bercabang tiga,
satu menuju ke anterior, yang dua secara berjajar bersebelahan menuju ke
posterior. masing-masing bercabang lagi ke arah lateral yang buntu
(diventrikulata/diventrikulum). Faring masing-masing terletak dalam sarung
otot, probosis (faring) dapat keluar melalui mulut dan di belakang mulut
terdapat porus genital.. Pada faring yang berotot tebal yang dapat dijulurkan
berfungsi sebagai penangkap mangsa kecil seperti Dafnia, cacing lainnya ataupun
bangkai. Planaria
memiliki kemoreseptor pada sisi kanan dan kiri anterior, sehingga memungkinkan
untuk bereaksi terhadap zat makanannya yang berupa rangsangan zat protein. Jika
mangsanya tersentuh maka ujung anterior akan berbelok dengan cepat kearah
mangsa dan kemudian akan melingkarinya. Dengan lendir excert glandulae mucosae yang
terdapat di sepanjang sisi badan dan kapsula, maka mangsa dapat lingkari dengan
erat menangkap mangsa. Setelah itu mangsa yang sudah dilingkari tadi dimasukkan
ke dalam mulutnya. Kemudian Planaria sp
diam dengan separuh badan mangsa pada bagian anterior dan separuh badannya diliputi
bagian posteriornya. Untuk selanjutnya faring akan ditonjolkan keluar untuk
mengambil mangsa dan dengan segera mangsa ditarik masuk ke dalam mulut bersama
faring.
Pencernaan
pada planaria terjadi di dalam sel (interseluler) dan diluar sel
(ekstraseluler).untuk pencernaan dalam sel terjadi dengan pertolongan vakuola
makanan yang berupa rongga untuk mencerna makanan. Untuk pencernaan luar
sel dibantu oleh enzim yang dibentuk usus . cara menagkap mangsanya pertama-tama
makanan ditangkap oleh probiosis kemudian diselaputi lendir ( lendir yang
diproduksi oleh kelejar lendir) atau cairan pencernaan yang ditempatakan
disekitar makanan, makanan yang larut kemudian diserap usus. Makanan di cerna
secara ekstraseluler, kemudian sel-sel tertentu pada epitel usus dapat
membentuk pseudopodia dan mencerna makananannya / mangsanya di dalam vakuola
makanan (pencernaan intraseluler). Sari-sari makanan di serap (absorpsi) dan
secara difusi masuk keseluruh jaringan tubuh. Planaria tidak memiliki anus pada
saluran pencernaan makanan sehingga buangan/sisa makanan yang tidak dicerna di
keluarkan kembali dari usus melalui mulut. Jika persediaan makanannya habis
atau tidak ada maka ia akan memakan tubuhnya sendiri. Dan organ pertama yang
dikorbankan adalah organ bagian reproduktif, kemudaian sel-sel parenkim, otot
dan seterusnya sehingga tubuhnya berukuran kecil. Planaria ini dapat
meregenerasikan sel-selnya yang sudah hilang (rusak) atau termakan oleh dirinya
sendiri ketika ia telah menemukan makanan kembali.
Sistem
eksresi pada Planaria terdiri dari pembuluh-pembuluh yang bercabang-cabang yang
mengadakan anyam-anyaman dan sel-sel yang berbentuk seperti kantung yang
disebut sel api atau flame-cell. Flame sel atau sel api tersebut terletak
tersebar di antara sel-sel tubuh lainnya terutama di bagian mesenkim. Adapun
fungsi sel-sel api ini adalah sebagai alat ekskresi yaitu membuang zat-zat
sampah yang merupakan sisa-sisa metabolisme zat nitrogen dan juga sebagai alat
osmoregulasi dalam arti ikut membantu mengeluarkan ekses-ekses penumpukan air
dalam tubuh, sehingga nilai osmosis tubuh tetap dapat dipertahankan seperti
ukuran normal.
Sistem saraf terdiri dari dua
ganglia yang terdapat pada bagian kepala. Dari masing-masing ganglia terdapat
seberkas saraf yang memanjang ke arah posterior pada tepi tubuh. Setiap berkas
saraf ini bercabang horizontal menghubungkan kedua berkas saraf lateral hingga
membentuk sistem saraf tangga tali. Ganglia ini dapat dianggap sebagai otak
hewan ini.
Sistem reproduksi pada kebanyakan
cacing pipih sangat berkembang dan kompleks. Reproduksi aseksual dengan cara
memotong tubuh di alami oleh sebagian besar anggota Turbellaria air tawar. Pada
umumnya cacing pipih telurnya tidak mempunyai kuning telur, tetapi di lengkapi
dengan “sel yolk khusus” yang tertutup oleh cangkang telur. Reproduksi pada
Planaria dapat di lakukan dengan vegetatif secara membelah diri dan secara
generatif dengan perkawinan. Planaria ini merupakan hewan hermaprodit
(monoceus) tetapi tidak mampu melakukan pembuahan sendiri. Kedua alat kelamin
ini berkembang dari sel-sel formatif pada parenkhim (JICA,2001). Pembelahan diri (fragmentasi planaria) dapat terjadi dengan berbagai
cara seperti gambar di bawah ini
.
Gambar 4. Fragmentasi pada Planaria sp
2. Fasciola hepatica
Klasifikasi
:
Kingdom : Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Class : Trematoda
Ordo : Digenea
Familia : Digeniadae
Genus : Fasciola
Spesies : Fasciola hepatica
Sumber :
Hegner, 1968
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap awetan Fasciola
hepatica pada mikroskop, terlihat
bagian tubuh dari Fasciola
hepatica yang berwarna
merah hati, memiliki mulut, anterior, posterior dan ventral. Pada bagian depan terdapat mulut meruncing yang
dikelilingi oleh alat pengisap. Alat ini
terdapat juga di daerah ventral yang berfungsi sebagai alat penempel pada
hospes. Antara mulut dan alat hisap ventral terdapat lubang genital sebagai
jalan untuk mengeluarkan telur. Lubang ekskresi terletak agak dekat dengan akhir
posterior, kecuali itu terdapat lubang lain sebagai akhir dari
saluran laurer. Pada
penampang memanjang pada Fasciola
hepatica menunjukkan struktur badan berdinding terdiri dari kulit jangat
yang berisi spinules, lapisan otot dan mesenchyme.
Fasciola
hepatica merupakan
Platyhelminthes dalam kelas Trematoda.
Disekitar mulut terdapat alat hisap (berfungsi sebagai alat penempel pada
hospes). Batil isap ini terdapat di sebelah anterior dan ventral. Alat hisap
dilengkapi dengan otot-otot yang tersusun atas tiga lapis, yaitu lapisan luar
melingkar, lapisan tengah longitudinal dan lapisan dalam diagonal (Rusyana,
2013).
Cacing
dewasa mempunyai bentuk pipih seperti daun, besarnya ± 30x13 mm. Bagian anterior berbentuk seperti kerucut dan
pada puncak kerucut terdapat batil isap mulut yang besarnya ±1 mm, sedangkan
pada bagian dasar kerucut terdapat batil isap perut yang besarnya ±1,6 mm.
Saluran pencernaan bercabang–cabang sampai ke ujung distal sekum. Testis dan
kelenjar vitelin juga bercabang –cabang. Ukuran cacing
dewasa 10-25 mm x 3-5 mm, bentuknya pipih, lonjong, menyerupai daun. Telur
berukuran kira –kira 30x16 mikron, bentuknya seperti bola lampu pijar dan
berisi mirasidium, ditemukan dalam saluran empedu (Sutanto
et al, 2008)
Tubuh Fasciola hepatica
adalah triploblastik. Ektoderm tipis yang dilapisi oleh kutikula yang berfungsi melindungi
jaringan di bawahnya dari cairan hospes. Ektoderm mengandung sisik kitin dan
sel-sel tunggal kelenjar. Endoderm melapisi saluran pencernaan. Mesoderm merupakan
jaringan yang membentuk otot, alat ekskresi, dan saluran reproduksi. Disamping
itu terdapat jaringan parenkim yang mengisi rongga antara dinding tubuh dengan
saluran pencernaan.
Sistem pencernaan sederhana,
dimulai dari mulut, pharynx yang merupakan saluran pendek, esophagus, usus yang
terdiri dari dua cabang utama yang menjulur dari anterior ke posterior
sebelah-menyebelah dalam tubuh. Hewan ini tidak memiliki system sirkulasi, maka
bahan makanan diedarkan oleh pencernaan itu sendiri. Alat hisap dilengkapi
dengan otot-otot, sehingga menempel dengan erat pada hospes.
Sistem saraf terdiri dari ganglion serebral, terletak di bagian kepala
dan berfungsi sebagai otak. Dari ganglion serebral ini keluarlah cabang-cabang
urat saraf secara radier menuju ke arah
lateral, anterior, dan posterior. Cabang posterior terdiri dari satu pasang
(kanan dan kiri) yang saling bersejejar yang membentang di bagian ventral tubuh
yang disebut tali saraf..
Sistem ekskresinya berupa sel-sel api (flame
cell) dan dapat juga melalui saluran utama yang mempunyai lubang pembuangan
keluar. Sistem sarafnya berupa sejumlah ganglion yang berfungsi sebagai otak
(bertindak sebagai susunan saraf serta mengkoordinir segala aktivitas tubuhnya).
Hewan spesies ini sebagian besar hermafrodit.
Reproduksinya secara seksual atau generatif, yaitu persatuan antara gamet
jantan dan gamet betina. Alat
reproduksi jantan terdiri atas: sepasang testis, dua pembuluh vas diferensia,
kantung vesiculum seminalis, saluran ejakulasi dan penis. Alat reproduksi pada
betina terdiri atas: saluran tunggal ovarium, saluran oviduct, kelenjar
pembungkus ovum, saluran vetelline, kelenjar yolk, dan uterus.
Habitat Fasciola hepatica di
dalam hati hewan ternak memamah biak seperti sapi. Cacing ini bersifat
endoparasit pada hospesnya. Cacing
yang terdapat di dalam tubuh siput air tawar merupakan fase mirasidium Fasciola
hepatica. Cacing ini memiliki ciri-ciri tubuhnya berwarna putih transparan.
Di dalam tubuh hewan ternak (sapi, domba, kambing, kerbau) terdapat
telur cacing yang sudah dibuahi kemudian telur tersebut keluar bersama fases
dari hewan ternak tersebut. Telur yang telah dibuahi
apabila jatuh di tempat yang lembab menetas menjadi larva bersilia yang disebut
mirasidium. Mirasidium yang mikroskopik, dorsoventral,
berbentuk kerucut dalam keadaan bebas larva tersebut melangkah berenang dengan cilianya. Cilia itu mempunyai suatu lapisan luar/dari sel bersudut
enam, mengatur di lima baris, di bawah lapisan ini adalah suatu lapisan otot
tipis/encer. Apabila mirasidium bertemu
dengan inang perantaranya yaitu keong air (Limnea javanica) akan
bersarang di dalamnya dan apabila tidak bertemu dengan keong air maka
mirasidium akan mati. Selama 2 minggu dalam tubuh keong air, mirasidium tumbuh
dan berkembang menanggalkan cilianya dan berubah bentuk menjadi bulat yang
disebut larva sporokista. Sporokista berkembangbiak dengan cara paedogenesis
(pembelahan diri pada fase larva) menjadi redia. Redia juga
melakukan paedogenesis menghasilkan larva berekor dan bentuknya seperti berudu
yang disebut serkaria. Serkaria keluar dari tubuh keong dan berenang
dalam air dengan menggunakan ekornya, setelah menempel di rumput, serkaria akan
melepaskan ekornya dan berkembang menjadi metaserkaria. Metaserkaria
dibungkus oleh kista yang kuat dan tahan beberapa minggu. Jika termakan bersama
rumput oleh hewan ternak, metaserkaria dapat menembus usus dan masuk ke dalam
saluran empedu hati tumbuh dan berkembang menjadi dewasa. Kemudian
di dalam tubuh hewan ternak tadi mengandung telur, telur dilepaskan melalui
fases, dan seterusnya.
Gambar 3. Daur hidup Fasciola hepatica
Hewan-hewan yang tergolong Trematoda merupakan hewan yang hidup
secara ektoparasit dan endoparasit. Oleh karena itu Trematoda merupakan hewan
parasit, dia mengambil makanan berupa cairan tubuh atau jaringan inangnya saat
ia menempel. Dinding tubuh tidak
tersusun oleh epidermis dan silia. Tubuhnya tidak bersegmen dan tertutup oleh
kutikula.
VI.
KESIMPULAN
1.
Phylum Platyhelminthes terbagi
menjadi tiga kelas yaitu Turbellaria, Trematoda, dan Cestoda.
2. Fasciola hepatica dan Planaria sp termasuk ke dalam phylum Platyhelminthes.
3. Planaria sp memiliki tubuh yang pipih dan simetri bilateral, bagian kepala berbentuk
segitiga dengan tonjolan seperti dua keping yang terletak di sisi lateral yang
disebut aurikel, dan bagian ekor
meruncing. Bagian tubuh sebelah dorsal warnanya lebih gelap daripada warna
tubuh sebelah ventral. Di tengah-tengah bagian dorsal
kepalanya terdapat bintik mata. Dekat pertengahan tubuh bagian ventral agak ke arah ekor terdapat
terdapat lubang mulut.
4. Planaria sp bergerak dengan cara meluncur dan merayap. Gerakan meluncur terjadi
dengan bantuan silia yang ada pada bagian ventral tubuhnya dan zat lendir yang
dihasilkan oleh kelenjar lendir dari bagian tepi tubuh. Pada gerak merayap,
tubuh planaria memanjang sebagai akibat dari kontraksi otot sirkular dan
dorsoventral.
5. Bagian-bagian morfologi Fasciola hepatica
terdiri dari mulut, penghisap, tuhuh,
dan saluran ekskresi. Bentuk
dari tubuh Fasciola hepatica berbentuk
seperti daun yang pada bagian anteriornya terdapat alat penghisap.
VII.
DAFTAR PUSTAKA
Gambar 1. Fasciola Hepatica. http://www.savalli.us/BIO385/Diversity/05.PlatyhelminthesImages/SheepFlukeLabel.jpg diakses pada
tanggal 31 Maret 2015
Gambar 2. Planaria sp.
http://www.doctortee.com/dsu/tiftickjian/cse-img/biology/animals/invertebrates/planarian.jpg diakses pada tanggal 31 Maret 2015
Gambar 3. Daur hidup Fasciola
Hepatica.
http://www.cdc.gov/dpdx/images/fascioliasis/Fasciola_LifeCycle.gif diakses pada tanggal 30 Maret 2015
Gambar 4. Fragmentasi pada Planaria. http://www.biologipedia.com/wp-content/uploads/2015/01/regenerasi-planaria.jpg diakses pada tanggal 31 Maret 2015
Halang, Bunda, Dharmono, Mahrudin, M. Arsyad, Amalia
Rezeki. 2015. Penuntun Praktikum Zoologi Invertebrata. Banjarmasin: Jurusan PMIPA FKIP UNLAM.
Hegner, Robert.W. & Joseph G.Engemann. 1968. Invertebrates
Zoologi. London: The
Macmillan Company Collier-Macmilllan Limited.
Jasin, Maskoeri. 1984. Sistematika Hewan Invertebrata dan vertebrata. Surabaya: Sinar Wijaya
JICA.
2001. Zoology Avertebrata. Semarang:
FMIPA UNNES
Rusyana, Adun. 2013. Zoologi Invertebrata (Teori dan
Praktik). Bandung: Alfabeta
Santoso. 1994. Ekologi Umum.
Malang: UMM Press.
Sutanto, Inge et al. 2008. Parasitologi
Kedokteran Edisi Keempat. Jakarta : Balai Penerbit FK UI
Verma, P.S. 2002. A
Manual Of Practical Zoology Invertebrates. S. Chand & Company LTD : New
Delhi.
0 komentar:
Posting Komentar